Nama : Astis
Alamat : Topa, Kec. Wangi-Wangi Selatan, Kab. Wakatobi
Penempatan
SM-3T : Kab. Mahakam
Ulu, Kampung Long Pahangai
Unit
Tugas : SMAN 1 Long Pahangai
E-mail : astis.wanci@gmail.com
Tulisan ini sekedar sharing informasi tentang kearifan budaya dan tradisi lokal daerah pengabdian, bukan tentang perjuangan anak-anak daerah terpencil untuk mendapatkan layanan pendidikan yang layak.
Salam MBMI dari Kampung Long Pahangai
Bumi pertiwi kita terdiri dari ratusan kelompok etnik yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara dan membentuk kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Heterogen, unik dan khas, dimana pada tiap-tiap etnik tersebut melekat tradisi dan budaya khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Tradisi yang dipraktikan oleh satu etnis tertentu tidak hanya sekedar menjadi simbol identitas, tapi juga syarat akan nilai-nilai hidup harmonis yang bisa diaplikasikan dalam interaksi sosial secara global dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya tradisi yang satu ini, tradisi Pemasangan Gelang Manik atau ‘Tun Lekun’ oleh suku Dayak Bahau di Kampung Long Pahangai.
Semua berawal ketika...........
Perjalanan
dengan mobil mengarungi jalan berlumpur, sungai-sungai kecil, dan barisan perbukitan
selama 9 jam lebih dari Ujoh Bilang, ibukota kabupaten, menuju kampung
terpencil ini begitu menguras energi. Penat dan pegal menyerang seluruh badan,
memicu aliran impuls ke otak dan direspon dengan hempasan tubuh untuk bersandar
pada dinding papan sebuah rumah panggung yang akan kami inapi malam itu.
Belum
lagi lepas rasa letih ketika terdengar panggilan dari Bapak tuan rumah.
Beliau mengharuskan untuk berkumpul segera. 12 orang rombongan peserta
SM-3T angkatan VI yang baru saja tiba di ibu kota kecamatan duduk melingkar dalam
ruang keluarga sebuah rumah panggung milik salah seorang penduduk lokal. Pada
satu sisi lingkaran itu duduk pula tuan rumah bersama istrinya, yang kami hormati
Pak Juk Jiu dan Ibunda Magdalena Mebang. Terlihat di tengah lingkaran ialah sebuah
piring sebagai nampan yang berisikan banyak gelang manik-manik dengan warna yang
seirama, yakni kuning mencolok, serta potongan-potongan kertas seukuran jempol
berisi tulisan.
Pak
Juk Jiu kemudian membuka percakapan dengan ucapan salam menyambuti kedatangan kami,
rombongan SM-3T yang akan bertugas ke beberapa kampung-kampung terpencil di
Kecamatan Long Pahangai selama kurang lebih 12 bulan.
“Ya beginilah keadaan kampung, Nak, gelap-gelapan
dan sekedar apa adanya, tidak seperti di Makassar”
ucapnya sambil senyum-senyum berkelakar membuat kami merasa malu karena begitu
manja dengan kehidupan serba ada di kota. Sekulum senyum tulus yang terkembang
pada wajah Bapak dan Ibu Juk bagai angin segar menerpa kepenatan dan
kecanggungan malam. Kamipun turut tersenyum menghilangkan kikuk.
Kecamatan
Long Pahangai terletak di Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur yang
berbatasan lansung dengan Negara Malaysia. Kehidupan masyarakat di wilayah
terpencil ini masih cukup tertinggal. Mayoritas warganya bekerja sebagai petani
ladang. Tidak hanya terisolir karena jauhnya letak dan sulitnya jalur transportasi
menuju kampung-kampung tersebut, tetapi juga karena belum masuknya berbagai
fasilitas pendukung yang dapat memudahkan warga untuk terekspos dengan dunia
luar, seperti belum memadainya sinyal telepon seluler dan minimnya pasokan
listrik. Hanya sedikit warga yang tergolong mampu dapat mengupayakan generator listrik
tenaga diesel ataupun suplai panel surya skala rumahan.
“Sengaja Bapak kumpulkan semua sesegera
mungkin walau masih dalam keadaan capek, karena besok beberapa dari kalian
mungkin akan dijemput ke kampung lain dan akan lama lagi ada waktu untuk
bertatap muka. Ada suatu hal yang ingin Bapak dan Ibu titipkan untuk kalian
sebelum berangkat ke tempat masing-masing nantinya.” Ucapnya sambil
mempersilahkan si Ibu untuk mengambil nampan yang terletak di tengah.
Lanjutnya,
“Sesuai dengan tradisi leluhur, tiap pendatang
mesti diupacarakan secara adat terlebih dahulu.” kata Pak Juk menerangkan
maksud beliau malam itu. Kami penasaran tradisi apa kiranya yang dimaksud oleh
Bapak dan Ibu Juk.
Selanjutnya
satu persatu peserta SM-3T dipanggil dan dipersilahkan untuk maju ke hadapan
Ibu Mebang sambil mengulurkan tangan kanan. Dalam tradisi Suku Dayak Bahau, tamu
pendatang akan disambut dengan upacara adat pemasangan gelang manik atau Tun Lekun
dalam bahasa daerahnya, sebagai simbol
selamat datang serta selamat bergabung dalam keluarga ataupun masyarakat
setempat.
Ibu
Mebang mengambil gelang manik yang terdapat di dalam nampan, kemudian memasangkannya
pada pergelangan tangan kami semua sembari menerangkan bahwa dengan terikatnya benang
gelang tersebut, sejak detik itu pula kami semua telah menjadi bagian dari
keluarga, menjadi anak angkat mereka. Kami menyalami sambil mencium tangannya sebagai
bentuk penghargaan balik kepada orang yang dianggap sebagai orangtua dalam kebiasaan
sehari-hari masyarakat Sulawesi.
Tun Lekun atau Tradisi
pemasangan gelang manik ialah sebuah konsep budaya yang mencerminkan toleransi,
persamaan derajat, dan pemersatu dalam tradisi Dayak Bahau secara turun
termurun.
Tradisi
Tun Lekun, asal katanya berasal dari
bahasa Dayak Bahau Busang dimana tun
berarti ‘pasang’ dan lekun berarti ‘gelang’.
Secara harfiah dapat kita artikan bahwa tun
lekun merupakan tradisi pemasangan gelang khas suku Dayak. Tradisi tersebut
tidak hanya dipraktikan di kampung ini, tetapi oleh hampir seluruh sub etnis Suku
Dayak di seluruh wilayah Kalimantan. Butiran-butiran manik yang awalnya terurai
melambangkan bahwa pendatang tersebut berasal dari tempat dan budaya yang
berbeda dengan suku setempat. Kemudian manik-manik tersebut diuntai dengan
benang dan diikatkan pada tangan tamu pendatang sebagai simbol penerimaan dalam
keluarga atau kelompok masyarakat suku Dayak agar jangan merasa sungkan.
Sedangkan warna yang seirama antara gelang-gelang tersebut bermakna satu
keluarga atau kelompok yang sama.
Perasaan
haru lansung menyelimuti kami. Entah harus seperti apa terimakasih yang mesti
kami haturkan kepada kedua Bapak dan Ibu Juk. Penyambutan yang kami terima begitu
besar maknanya walau beliau berdua mengetahui kami berasal dari tempat jauh
dengan adat dan keyakinan yang berbeda dengan mereka.
Prosesi
berikutnya kemudian Ibu Mebang membagi-bagikan kertas berisi tulisan dalam
Bahasa Dayak. Tiap orang mendapat satu kertas. Kami dipersilahkan untuk
membacanya agak keras agar didengar oleh teman-teman yang lainnya. Berikut Pak
Juk menjelaskan kepada kami bahwa tulisan dalam potongan kertas tersebut
merupakan nama kami. Selain nama asli yang kami bawa dari daerah asal
masing-masing, keluarga Pak Juk juga telah menyematkan nama Dayak untuk peserta
semua. Kiranya nanti nama tersebut yang akan digunakan dalam berinteraksi
dengan warga sekitar.
Tradisi
pemberian nama itu sendiri tidak selamanya sebagai follow up dari tradisi pemasangan gelang manik bagi para tamu
pendatang. Kata beliau jika memang tamunya berniat untuk menetap dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka perlu kiranya untuk diberi nama Dayak baru. Jika
hanya untuk sementara, maka tidak perlu. Penamaan dalam Bahasa Dayak tersebut bertujuan
untuk memudahkan warga lokal menyapa kami. Hal ini karena tidak semua warga
dapat secara fasih mengucapkan nama-nama yang biasa digunakan oleh orang dari
luar daerah. Nama saya sendiri ialah Madang
berarti Terbang, terbang seperti burung enggang.
Menurut
Pak Juk, orangtua yang mengangkat kami sebagai anaknya, bahwa penamaan tersebut
disengaja untuk menyesuaikan dengan lidah warga lokal yang agak sulit untuk
menyebut nama-nama asing. Hal tersebut sudah kami buktikan setelah beberapa
bulan tinggal di tempat ini, dimana banyak warga yang tidak bisa menyebutkan
nama asli kami dengan betul walau sudah diberitahu berulang kali. Mereka akan
lebih gampang mengingat dan menyebutkan nama Dayak kami seperti Madang
(Terbang), Haran (Nama), Long (Sungai), Belareq (Guntur), dan lainnya ketimbang
nama asli kami.
Selain
itu, nama-nama Dayak yang disematkan pada kami juga merupakan nama leluhur,
serta kerabat-kerabat yang telah mangkat. Penggunaan nama mereka bermakna
sebagai pengingat bahwa orang-orang tersebut pernah berada dalam satu ikatan keluarga,
serta berisi harapan agar kami mendapatkan kemudahan dan perlindungan dari
Tuhan Yang Maha Kuasa dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Pengalaman
yang begitu luar biasa untuk bisa mencicipi salah satu tradisi sakral suku
Dayak Bahau di pedalaman Kalimantan Timur. Hidup bersama-sama dalam lingkungan
yang asing, namun penghargaan dan toleransi mereka terhadap perbedaan sangatlah
besar. Kata Pak Juk, ini bukan untuk pertama kalinya mereka mengangkat anak bagi
para tetamu, karena tahun sebelumnya juga keluarga inilah yang menyematkan 10 gelang
dan 10 nama Dayak kepada 10 peserta SM-3T angkatan V. Sambil tertawa saya
menimpalinya “Berarti anak Bapak Ibu
sekarang bertambah menjadi 22 orang.” Semua tertawa lepas melupakan rasa
lelah malam itu dan ngobrol-ngobrol hingga larut malam.
Di
tengah maraknya polemik anti-Pancasila, radikalisme, terorisme, serta
kebrutalan ekstrimis dan ambisinya yang dapat menyebabkan disintegrasi sosial
di tengah masyarakat, di pelosok negeri ini terkumpul 12 orang peserta SM-3T VI
yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan suku yang berbeda, Bugis,
Makassar, Flores, Merauke, Betawi, Toraja dan Wakatobi. Heterogenitas kultur tersebut
disatukan oleh gelang manik yang terikat pada tiap lengan tangan kanan peserta
lewat tradisi Tun Lekun oleh orangtua
angkat di daerah terpencil. Sebagai pengingat bahwa ‘berbeda-beda tetapi tetap satu jua’. Nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi tersebut sejalan dengan semangat ideologi bangsa kita, Pancasila.
Banyak
pelajaran yang dapat kita petik dari tradisi suku pedalaman ini. Sejak
pencetusan Pancasila sebagai dasar negara sekian tahun lalu, para muda mudi
pejuang bangsa mengambil sumpah untuk bersatu membingkai kebhinekaan nusantara.
Tradisi
tun lekun berperan sebagai
manifestasi nilai-nilai Pancasila dalam interaksi sosial. Penyematan gelang
pengikat kekeluargaan dan persaudaraan kaya akan nilai luhur kebhinekaan. Lebih
bermakna dari sekedar bentuk penghargaan simbolis bagi para tamu yang datang,
dimana tradisi pemasangan gelang ini juga bermakna bahwa kita merupakan bagian
dari keluarga dari si pemasang gelang tanpa membiaskan keyakinan dan budaya
asal yang dibawa. Tidak hanya tertutup dalam lingkup keluarga pemasang gelang,
penerimaan itu juga terasa dalam interaksi dengan warga kampung. Sebagai
contoh, meski sebagian besar warganya memeluk agama Katolik, tetapi toleransinya
terhadap keyakinan minor lainnya sangat tinggi. Selama tinggal di wilayah
pedalaman ini belum pernah terdengar adanya gesekan-gesekan sosial karena
perbedaan keyakinan tersebut.
Ketuhanan
Yang Maha Esa, dalam implementasinya memberi kebebasan bagi tiap-tiap warga
Negara untuk manganut suatu agama tertentu tanpa ada paksaan dan tekanan dari
pihak tertentu, seraya menghargai pemeluk agama yang lain tentunya. Di kampung
terpencil ini belum pernah kami mendengar kisah tentang diskriminasi sosial
akibat perbedaan keyakinan. Hidup saling berdampingan, harmonis dan toleran
dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dipraktikan oleh warga asli
ataupun warga pendatang.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Bahwa kedudukan tiap manusia itu sama, mendapat
perlakuan yang sama dalam hukum positif. Olehnya itu Tuhan mengaruniai manusia dengan
akal yang membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lainnya agar mampu menalar
nilai-nilai keadilan dan kemanusian yang harus dipraktikan, yang membuat manusia
menjadi makhluk yang beradab. Keterbukaan masyarakat dalam menerima perbedaan dapat
meminimalisir diskriminasi dan disintegrasi sosial yang mungkin terjadi.
Tradisi pemasangan gelang manik mencerminkan keterbukaan untuk menerima
pendatang tanpa pilih kasih, untuk turut menjalani kehidupan dan mendapatkan perlakuan
yang sama dalam bersosialisasi seperti individu-individu lainnya dalam masyarakat.
Esensi
yang terkandung dalam tradisi pemasangan gelang manik dan pemberian nama Dayak dapat
dijadikan sebagai tameng untuk memerangi kebrutalan pandangan atau tindakan menyikapi
pluralisme. Karena keberagaman itulah yang melatih kita untuk hidup lebih
toleran. Menjadi manusia yang lebih beradab, bukan manusia yang saling serang
menyerang. Menjadi manusia yang menggenggam erat persatuan, bukan terpecah
belah karena hasutan oknum tertentu.
Kita
sebagai warga negara berkewajiban untuk melestarikan tradisi-tradisi luhur
tersebut agar tak luntur ditengah derasnya gerusan kemajuan IPTEK daerah
perkotaan. Pemerintah bersama-sama warganya perlu menggiatkan penanaman kembali
semangat kekeluargaan dan gotong royong, baik itu melalui preservasi tradisi-tradisi
lokal, ataupun melalui sistem pendidikan karakter di sekolah.
Sebulan
lagi masa pengabdian akan selesai, semakin dekat pula waktu perpisahan dengan
keluarga dan warga yang menerima peserta SM-3T selama berada di kampung-kampung
pedalaman Mahakam Ulu. Terbesit perasaan sedih karena harus meninggalkan kedua
orangtua yang telah kami anggap seperti orangtua sendiri, dan rangkulan masyarakat
yang begitu toleran terhadap pendatang. Andai setiap daerah di penjuru
Nusantara ini juga menyadari indahnya toleransi dan persatuan.
Hari
ini saya berani berbangga karena turut ambil bagian dalam mewujudkan cita-cita
memajukan pendidikan dari wilayah yang paling terisolir di Nusantara ini,
menjadi seorang tenaga pendidik lewat jalur SM-3T. Program ini pula yang memberikan
kesempatan untuk mengenal bagaimana kearifan budaya dan tradisi lokal di
wilayah penugasan, mengajarkan bahwa semangat kekeluargaan tidak mesti diterlurkan
dari rahim yang sama. Perbedaan yang dibawa sejak lahir itu bukanlah merupakan
sekat pemisah dalam memberikan atau menerima suatu perlakuan, misalnya dalam pelayanan
pendidikan yang merata dan adil kepada berbagai lapisan masyarakat yang
notabenenya berbeda tradisi, suku, agama, budaya atau bahasa. Semoga kelak kita
semua menjadi insan pertiwi yang mampu merefleksikan nilai-nilai luhur
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuk gelang manik yang dipakaikan pada
pergelangan tangan para tamu pendatang, dua gelang bermakna dua keluarga
Jam
setengah sepuluh malam setelah prosesi adat pemasangan gelang manik dan
pemberian nama selesai, kami membubarkan diri dengan perasaan riang. Tetapi Pak
Juk tiba-tiba berkata agar jangan terlalu senang dulu. Kami semua kebingungan
mendengarnya. Beliau berkata agar perasaan senangnya disimpan sebagian karena
di lokasi penugasan dan di sekolah juga nanti akan ada keluarga baru yang
mengangkat kami sebagai anaknya. Siapkan ruang dipergelangan tangan untuk
gelang-gelang manik berikutnya.
No comments:
Post a Comment