Saturday, February 17, 2018

Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Tradisi ‘Pemasangan Gelang Manik Tun Lekun’



Nama : Astis
Alamat : Topa, Kec. Wangi-Wangi Selatan, Kab. Wakatobi
Penempatan SM-3T : Kab. Mahakam Ulu, Kampung Long Pahangai
Unit Tugas : SMAN 1 Long Pahangai
E-mail : astis.wanci@gmail.com

Tulisan ini sekedar sharing informasi tentang kearifan budaya dan tradisi lokal daerah pengabdian, bukan tentang perjuangan anak-anak daerah terpencil untuk mendapatkan layanan pendidikan yang layak.
Salam MBMI dari Kampung Long Pahangai
Bumi pertiwi kita terdiri dari ratusan kelompok etnik yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara dan membentuk kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Heterogen, unik dan khas, dimana pada tiap-tiap etnik tersebut melekat tradisi dan budaya khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Tradisi yang dipraktikan oleh satu etnis tertentu tidak hanya sekedar menjadi simbol identitas, tapi juga syarat akan nilai-nilai hidup harmonis yang bisa diaplikasikan dalam interaksi sosial secara global dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya tradisi yang satu ini, tradisi Pemasangan Gelang Manik atau ‘Tun Lekun’ oleh suku Dayak Bahau di Kampung Long Pahangai.
Semua berawal ketika...........
Perjalanan dengan mobil mengarungi jalan berlumpur, sungai-sungai kecil, dan barisan perbukitan selama 9 jam lebih dari Ujoh Bilang, ibukota kabupaten, menuju kampung terpencil ini begitu menguras energi. Penat dan pegal menyerang seluruh badan, memicu aliran impuls ke otak dan direspon dengan hempasan tubuh untuk bersandar pada dinding papan sebuah rumah panggung yang akan kami inapi malam itu.

Belum lagi lepas rasa letih ketika terdengar panggilan dari Bapak tuan rumah. Beliau mengharuskan untuk berkumpul segera. 12 orang rombongan peserta SM-3T angkatan VI yang baru saja tiba di ibu kota kecamatan duduk melingkar dalam ruang keluarga sebuah rumah panggung milik salah seorang penduduk lokal. Pada satu sisi lingkaran itu duduk pula tuan rumah bersama istrinya, yang kami hormati Pak Juk Jiu dan Ibunda Magdalena Mebang. Terlihat di tengah lingkaran ialah sebuah piring sebagai nampan yang berisikan banyak gelang manik-manik dengan warna yang seirama, yakni kuning mencolok, serta potongan-potongan kertas seukuran jempol berisi tulisan.

Pak Juk Jiu kemudian membuka percakapan dengan ucapan salam menyambuti kedatangan kami, rombongan SM-3T yang akan bertugas ke beberapa kampung-kampung terpencil di Kecamatan Long Pahangai selama kurang lebih 12 bulan.

“Ya beginilah keadaan kampung, Nak, gelap-gelapan dan sekedar apa adanya, tidak seperti di Makassar” ucapnya sambil senyum-senyum berkelakar membuat kami merasa malu karena begitu manja dengan kehidupan serba ada di kota. Sekulum senyum tulus yang terkembang pada wajah Bapak dan Ibu Juk bagai angin segar menerpa kepenatan dan kecanggungan malam. Kamipun turut tersenyum menghilangkan kikuk.

Kecamatan Long Pahangai terletak di Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan lansung dengan Negara Malaysia. Kehidupan masyarakat di wilayah terpencil ini masih cukup tertinggal. Mayoritas warganya bekerja sebagai petani ladang. Tidak hanya terisolir karena jauhnya letak dan sulitnya jalur transportasi menuju kampung-kampung tersebut, tetapi juga karena belum masuknya berbagai fasilitas pendukung yang dapat memudahkan warga untuk terekspos dengan dunia luar, seperti belum memadainya sinyal telepon seluler dan minimnya pasokan listrik. Hanya sedikit warga yang tergolong mampu dapat mengupayakan generator listrik tenaga diesel ataupun suplai panel surya skala rumahan.

Sengaja Bapak kumpulkan semua sesegera mungkin walau masih dalam keadaan capek, karena besok beberapa dari kalian mungkin akan dijemput ke kampung lain dan akan lama lagi ada waktu untuk bertatap muka. Ada suatu hal yang ingin Bapak dan Ibu titipkan untuk kalian sebelum berangkat ke tempat masing-masing nantinya.” Ucapnya sambil mempersilahkan si Ibu untuk mengambil nampan yang terletak di tengah.

Lanjutnya, “Sesuai dengan tradisi leluhur, tiap pendatang mesti diupacarakan secara adat terlebih dahulu.” kata Pak Juk menerangkan maksud beliau malam itu. Kami penasaran tradisi apa kiranya yang dimaksud oleh Bapak dan Ibu Juk.

Selanjutnya satu persatu peserta SM-3T dipanggil dan dipersilahkan untuk maju ke hadapan Ibu Mebang sambil mengulurkan tangan kanan. Dalam tradisi Suku Dayak Bahau, tamu pendatang akan disambut dengan upacara adat pemasangan gelang manik atau Tun Lekun dalam bahasa daerahnya, sebagai simbol selamat datang serta selamat bergabung dalam keluarga ataupun masyarakat setempat.
Ibu Mebang mengambil gelang manik yang terdapat di dalam nampan, kemudian memasangkannya pada pergelangan tangan kami semua sembari menerangkan bahwa dengan terikatnya benang gelang tersebut, sejak detik itu pula kami semua telah menjadi bagian dari keluarga, menjadi anak angkat mereka. Kami menyalami sambil mencium tangannya sebagai bentuk penghargaan balik kepada orang yang dianggap sebagai orangtua dalam kebiasaan sehari-hari masyarakat Sulawesi.


Tun Lekun atau Tradisi pemasangan gelang manik ialah sebuah konsep budaya yang mencerminkan toleransi, persamaan derajat, dan pemersatu dalam tradisi Dayak Bahau secara turun termurun.

Tradisi Tun Lekun, asal katanya berasal dari bahasa Dayak Bahau Busang dimana tun berarti ‘pasang’ dan lekun berarti ‘gelang’. Secara harfiah dapat kita artikan bahwa tun lekun merupakan tradisi pemasangan gelang khas suku Dayak. Tradisi tersebut tidak hanya dipraktikan di kampung ini, tetapi oleh hampir seluruh sub etnis Suku Dayak di seluruh wilayah Kalimantan. Butiran-butiran manik yang awalnya terurai melambangkan bahwa pendatang tersebut berasal dari tempat dan budaya yang berbeda dengan suku setempat. Kemudian manik-manik tersebut diuntai dengan benang dan diikatkan pada tangan tamu pendatang sebagai simbol penerimaan dalam keluarga atau kelompok masyarakat suku Dayak agar jangan merasa sungkan. Sedangkan warna yang seirama antara gelang-gelang tersebut bermakna satu keluarga atau kelompok yang sama.

Perasaan haru lansung menyelimuti kami. Entah harus seperti apa terimakasih yang mesti kami haturkan kepada kedua Bapak dan Ibu Juk. Penyambutan yang kami terima begitu besar maknanya walau beliau berdua mengetahui kami berasal dari tempat jauh dengan adat dan keyakinan yang berbeda dengan mereka. 

Prosesi berikutnya kemudian Ibu Mebang membagi-bagikan kertas berisi tulisan dalam Bahasa Dayak. Tiap orang mendapat satu kertas. Kami dipersilahkan untuk membacanya agak keras agar didengar oleh teman-teman yang lainnya. Berikut Pak Juk menjelaskan kepada kami bahwa tulisan dalam potongan kertas tersebut merupakan nama kami. Selain nama asli yang kami bawa dari daerah asal masing-masing, keluarga Pak Juk juga telah menyematkan nama Dayak untuk peserta semua. Kiranya nanti nama tersebut yang akan digunakan dalam berinteraksi dengan warga sekitar. 

Tradisi pemberian nama itu sendiri tidak selamanya sebagai follow up dari tradisi pemasangan gelang manik bagi para tamu pendatang. Kata beliau jika memang tamunya berniat untuk menetap dalam jangka waktu yang cukup lama, maka perlu kiranya untuk diberi nama Dayak baru. Jika hanya untuk sementara, maka tidak perlu. Penamaan dalam Bahasa Dayak tersebut bertujuan untuk memudahkan warga lokal menyapa kami. Hal ini karena tidak semua warga dapat secara fasih mengucapkan nama-nama yang biasa digunakan oleh orang dari luar daerah. Nama saya sendiri ialah Madang berarti Terbang, terbang seperti burung enggang.

Menurut Pak Juk, orangtua yang mengangkat kami sebagai anaknya, bahwa penamaan tersebut disengaja untuk menyesuaikan dengan lidah warga lokal yang agak sulit untuk menyebut nama-nama asing. Hal tersebut sudah kami buktikan setelah beberapa bulan tinggal di tempat ini, dimana banyak warga yang tidak bisa menyebutkan nama asli kami dengan betul walau sudah diberitahu berulang kali. Mereka akan lebih gampang mengingat dan menyebutkan nama Dayak kami seperti Madang (Terbang), Haran (Nama), Long (Sungai), Belareq (Guntur), dan lainnya ketimbang nama asli kami.

Selain itu, nama-nama Dayak yang disematkan pada kami juga merupakan nama leluhur, serta kerabat-kerabat yang telah mangkat. Penggunaan nama mereka bermakna sebagai pengingat bahwa orang-orang tersebut pernah berada dalam satu ikatan keluarga, serta berisi harapan agar kami mendapatkan kemudahan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Pengalaman yang begitu luar biasa untuk bisa mencicipi salah satu tradisi sakral suku Dayak Bahau di pedalaman Kalimantan Timur. Hidup bersama-sama dalam lingkungan yang asing, namun penghargaan dan toleransi mereka terhadap perbedaan sangatlah besar. Kata Pak Juk, ini bukan untuk pertama kalinya mereka mengangkat anak bagi para tetamu, karena tahun sebelumnya juga keluarga inilah yang menyematkan 10 gelang dan 10 nama Dayak kepada 10 peserta SM-3T angkatan V. Sambil tertawa saya menimpalinya “Berarti anak Bapak Ibu sekarang bertambah menjadi 22 orang.” Semua tertawa lepas melupakan rasa lelah malam itu dan ngobrol-ngobrol hingga larut malam.

Di tengah maraknya polemik anti-Pancasila, radikalisme, terorisme, serta kebrutalan ekstrimis dan ambisinya yang dapat menyebabkan disintegrasi sosial di tengah masyarakat, di pelosok negeri ini terkumpul 12 orang peserta SM-3T VI yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan suku yang berbeda, Bugis, Makassar, Flores, Merauke, Betawi, Toraja dan Wakatobi. Heterogenitas kultur tersebut disatukan oleh gelang manik yang terikat pada tiap lengan tangan kanan peserta lewat tradisi Tun Lekun oleh orangtua angkat di daerah terpencil. Sebagai pengingat bahwa ‘berbeda-beda tetapi tetap satu jua’. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut sejalan dengan semangat ideologi bangsa kita, Pancasila.

Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari tradisi suku pedalaman ini. Sejak pencetusan Pancasila sebagai dasar negara sekian tahun lalu, para muda mudi pejuang bangsa mengambil sumpah untuk bersatu membingkai kebhinekaan nusantara.

Tradisi tun lekun berperan sebagai manifestasi nilai-nilai Pancasila dalam interaksi sosial. Penyematan gelang pengikat kekeluargaan dan persaudaraan kaya akan nilai luhur kebhinekaan. Lebih bermakna dari sekedar bentuk penghargaan simbolis bagi para tamu yang datang, dimana tradisi pemasangan gelang ini juga bermakna bahwa kita merupakan bagian dari keluarga dari si pemasang gelang tanpa membiaskan keyakinan dan budaya asal yang dibawa. Tidak hanya tertutup dalam lingkup keluarga pemasang gelang, penerimaan itu juga terasa dalam interaksi dengan warga kampung. Sebagai contoh, meski sebagian besar warganya memeluk agama Katolik, tetapi toleransinya terhadap keyakinan minor lainnya sangat tinggi. Selama tinggal di wilayah pedalaman ini belum pernah terdengar adanya gesekan-gesekan sosial karena perbedaan keyakinan tersebut. 

Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam implementasinya memberi kebebasan bagi tiap-tiap warga Negara untuk manganut suatu agama tertentu tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak tertentu, seraya menghargai pemeluk agama yang lain tentunya. Di kampung terpencil ini belum pernah kami mendengar kisah tentang diskriminasi sosial akibat perbedaan keyakinan. Hidup saling berdampingan, harmonis dan toleran dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dipraktikan oleh warga asli ataupun warga pendatang.

Kemanusiaan yang adil dan beradab. Bahwa kedudukan tiap manusia itu sama, mendapat perlakuan yang sama dalam hukum positif. Olehnya itu Tuhan mengaruniai manusia dengan akal yang membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lainnya agar mampu menalar nilai-nilai keadilan dan kemanusian yang harus dipraktikan, yang membuat manusia menjadi makhluk yang beradab. Keterbukaan masyarakat dalam menerima perbedaan dapat meminimalisir diskriminasi dan disintegrasi sosial yang mungkin terjadi. Tradisi pemasangan gelang manik mencerminkan keterbukaan untuk menerima pendatang tanpa pilih kasih, untuk turut menjalani kehidupan dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam bersosialisasi seperti individu-individu lainnya dalam masyarakat.

Esensi yang terkandung dalam tradisi pemasangan gelang manik dan pemberian nama Dayak dapat dijadikan sebagai tameng untuk memerangi kebrutalan pandangan atau tindakan menyikapi pluralisme. Karena keberagaman itulah yang melatih kita untuk hidup lebih toleran. Menjadi manusia yang lebih beradab, bukan manusia yang saling serang menyerang. Menjadi manusia yang menggenggam erat persatuan, bukan terpecah belah karena hasutan oknum tertentu.

Kita sebagai warga negara berkewajiban untuk melestarikan tradisi-tradisi luhur tersebut agar tak luntur ditengah derasnya gerusan kemajuan IPTEK daerah perkotaan. Pemerintah bersama-sama warganya perlu menggiatkan penanaman kembali semangat kekeluargaan dan gotong royong, baik itu melalui preservasi tradisi-tradisi lokal, ataupun melalui sistem pendidikan karakter di sekolah. 

Sebulan lagi masa pengabdian akan selesai, semakin dekat pula waktu perpisahan dengan keluarga dan warga yang menerima peserta SM-3T selama berada di kampung-kampung pedalaman Mahakam Ulu. Terbesit perasaan sedih karena harus meninggalkan kedua orangtua yang telah kami anggap seperti orangtua sendiri, dan rangkulan masyarakat yang begitu toleran terhadap pendatang. Andai setiap daerah di penjuru Nusantara ini juga menyadari indahnya toleransi dan persatuan.

Hari ini saya berani berbangga karena turut ambil bagian dalam mewujudkan cita-cita memajukan pendidikan dari wilayah yang paling terisolir di Nusantara ini, menjadi seorang tenaga pendidik lewat jalur SM-3T. Program ini pula yang memberikan kesempatan untuk mengenal bagaimana kearifan budaya dan tradisi lokal di wilayah penugasan, mengajarkan bahwa semangat kekeluargaan tidak mesti diterlurkan dari rahim yang sama. Perbedaan yang dibawa sejak lahir itu bukanlah merupakan sekat pemisah dalam memberikan atau menerima suatu perlakuan, misalnya dalam pelayanan pendidikan yang merata dan adil kepada berbagai lapisan masyarakat yang notabenenya berbeda tradisi, suku, agama, budaya atau bahasa. Semoga kelak kita semua menjadi insan pertiwi yang mampu merefleksikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk gelang manik yang dipakaikan pada pergelangan tangan para tamu pendatang, dua gelang bermakna dua keluarga

Jam setengah sepuluh malam setelah prosesi adat pemasangan gelang manik dan pemberian nama selesai, kami membubarkan diri dengan perasaan riang. Tetapi Pak Juk tiba-tiba berkata agar jangan terlalu senang dulu. Kami semua kebingungan mendengarnya. Beliau berkata agar perasaan senangnya disimpan sebagian karena di lokasi penugasan dan di sekolah juga nanti akan ada keluarga baru yang mengangkat kami sebagai anaknya. Siapkan ruang dipergelangan tangan untuk gelang-gelang manik berikutnya.

No comments:

Post a Comment