Saturday, April 7, 2018

Peci Pinjaman dan Hebatnya Seorang Guru



Di Asrama PPG UNMUL, sore itu begitu teduh, ketika penulis dan beberapa orang lainnya duduk melingkar sambil menceritakan kisah-kisah unik saat ditugaskan ke daerah pelosok. Kata demi kata mulai mengalir, Ardi (Suhardianto Said) menuturkan sebuah cerita lucu nan menginspirasi saat mengunjungi dua kawannya di Dusun Titiri’i, dusun terpencil di gugusan Kepulauan Una-Una, Sulawesi Tengah. 30 menit dari tempat penugasannya di Dusun Boulu.

*****
Sekitar pukul delapan pagi motor RX King tua yang saya pinjam dari warga Boulu kupacu menuruni bukit ke dusun Titiri'i. Sesampainya disana, sapa riang dari Arman dan Hasrul, rekan guru SM3T yang ditugaskan di dusun tersebut, disampingnya berdiri pula beberapa orang anak muridnya. Segera saya diajak menuju gubuknya di tengah perkampungan warga.

Sekejap mata waktu berlalu hingga tak berasa telah 3 jam kami habiskan waktu berbagi pengalaman susah senang selama beberapa bulan ini. Menatap ampas kopi yang hampir mengering di dalam gelas masing-masing. Seorang anak murid lewat di depan gubuk sambil berteriak, "Marimo kita ke masjid, Pak guru. Su jam 11."
Betul sekali, kami bertiga hampir lupa kalau hari itu ialah hari Jum'at.

Saya yang hanya membawa satu stel pakaian di badan berupa kaos dan celana training merasa tidak perlu berganti pakaian karena masih  cukup suci untuk dipakai beribadah, asal menutupi aurat. Cukup dengan mandi dan berwudhu saja, terus cus ke masjid.

Masjidnya tidak besar, kecil malah, sesuai dengan jumlah penduduk dusun kecil tersebut. Jam dinding di atas mimbar menunjukan pukul 11.45. Saya sengaja duduk di pojokan shaf ke 3 karena kostum yang saya gunakan kurang pantas untuk berebut nur Illahi di baris terdepan, terpisah dengan kedua rekanku yang duduk di shaf depan bersama beberapa orang tua. Allah pasti mengerti keadaanku saat itu, yakinku.

Jam 12, masuk waktunya adzan dikumandangkan. Sedikit demi sedikit warga kampung mulai memasuki masjid itu. Dengan mikrofon di tangan, Muadzin berteriak sekuat-kuatnya tak mau kalah dengan suara mesin genset di luar masjid. Seusai sholat sunnah saya duduk manis tetap ditempat yang sama sambil menunggu khottib naik mimbar dan memulai khotbahnya.

Sekian lama ditunggu, hampir 10 menit belum ada juga yang naik mimbar untuk berkhotbah. Mungkin Jum'atan disini lain dari tempat asal saya, pikirku kalem. Sudah menjadi hal yang lumrah perbedaan tata cara pelaksanaan Sholat Ju'mat. Saya sih awalnya fine fine aja tanpa berpikiran yang aneh-aneh, sebelum akhirnya seorang bapak tua berdiri menghampiri Arman dan mereka berbisik-bisik bro. Indra keenam saya terpantik untuk menduga-duga gerangan apa yang sedang mereka perbincangkan. Kemudian terlihat Arman menengok ke belakang dan matanya melirik ke arah tempat saya duduk seraya mengajak bapak tua itu untuk ikut melirik kearah saya. Teng... sepertinya yang saya khawatirkan akan betul-betul segera terjadi.

Arman berdiri menghampiri tempat saya duduk. Namun sebelum dia menyampaikan isi kabar yang membuatku deg-degkan itu, saya segera gelengkan kepala memberi isyarat untuk tidak melanjutkan niatnya sambil berbisik hampir tak terdengar "Belum pernah ka naik mimbar le, baru masa kaos sama training mau dipake khotib, nda maconya mi khotib ceramah pake training." Kataku menghindar.

Tak habis akal, Arman meraih seorang siswanya yang kebetulan duduk didepanku, "Ahmat, sini songkomu Bapak guru pinjam  dulu untuk Pak Ardi." Katanya sambil menyodorkan peci yang kekecilan itu.
"Nda naik ko, nda jadi ki sholat Jumat ini. Khotib yang biasa ceramah masih melaut ii." Lanjutnya sambil mengancamku.

Saat itu saya sempat blank, sesaat amnesia menyerangku. Betul-betul tak terduga dan tanpa persiapan. Apa yang harus saya sampaikan. Dengan baju kaos dan celana training, dipolesi peci pinjaman yang kekecilan saya terpaksa mengiklaskan diri untuk naik ke atas mimbar, menyulap diri menjadi khotib dak-dakkan.

Haruskah saya ceritakan isi khutbahnya, ah sudahlah. Mungkin dilain kesempatan.

Akhirnya jumatan selesai. Hikmah pelajaran yang dapat saya petik dari sentilan Tuhan hari itu ialah agar saya mau belajar lebih giat lagi. Profesi saya ialah guru, dan untuk masyarakat di kampung ini(mungkin juga di kampung lain), seseorang yang menyandang gelar guru ialah orang yang serba tahu.

********

Guru SM3T sebagai profesi serba bisa. Tidak hanya mendidik di sekolah, tapi juga  berperan positif di tengah masyarakat. Tidak sedikit kesempatan ketika guru SM3T harus mengisi sambutan di acara-acara kampung, atau jadi khotib, iman dan sebagainya.

Tanpa mengecilkan arti profesi lain, di daerah pelosok, sosok guru merupakan profesi yang diagungkan karena perannya begitu sentral dalam pembangunan masyarakat. Bercermin ke sepuluh dua puluh tahun lalu ketika di kota asal kita juga dulu profesi guru masih dianggap sebagai profesi yang mulia. Kemudian citra itu sedikit demi sedikit tercemar akibat aksi-aksi bejat beberapa oknum yang merusak citra profesi guru.

Melalui tulisan ini pula saya ingin mengajak pembaca ayo kita kembalikan kemuliaan martabat profesi kita.

1 comment:

  1. Situs Online Terlengkap Dan Terpercaya

    Satu User Id untuk Semua Permainan Online

    Bandar Online Terbaik

    Mbo 128

    Daftar dan Menang Sangat Mudah

    WhatsApp : 0852-2255-5128

    ReplyDelete