Wednesday, March 14, 2018

KARENAMU KUTEMUKAN JALANKU (Part 1)

Tak semua yang indah harus berangkat dari sesuatu yang istimewa. Sebuah pilihan menjadi kata kunci dari setiap perjalanan hidup yang akan menjadi sebuah cerita dan perjuangan menuju sebuah impian. SM-3T mungkin hanya menjadi sebuah kata yang sangat sederhana untuk disebutkan dan didengarkan.

Namun, disitulah saya menemukan jalan menuju sesuatu yang luar biasa dalam perjalananku menggulung cerita akan keberadaanku. Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa awal dari keikutsertaanku hanya sebatas iseng dan turut ramai dalam program tersebut. Bahkan lebih dari itu, insting atau jiwa petualangan yang memang menjadi kegemaran inilah yang jadi titik awalku membuka gerbang menuju hal-hal besar yang selama ini tidak pernah terbayangkan.

Proses demi proses, tahap demi tahap terlewati. Bukan sesuatu yang mudah tentunya. Bahkan, rasa ingin mundur dan berhenti ditengah proses seringkali hadir mengunjungi. Beruntung sebuah spirit atau dorongan yang datang dari keluarga, sahabat, dan teman–teman tak pernah berhenti meski terkadang diiringi dengan lelucon yang menjatuhkan. Tapi, saya yakini semua itu hanya cibiran ringan yang jika diartikan lebih mendalam menyimpan sebuah pesan untuk melangkah lebih jauh ke depan.

Hal itulah yang membuatku menikmati detik demi detik, hari demi hari tanpa melewatkan sedikitpun dari proses itu. Sebuah tekad dalam diri perlahan terbentuk, menemukan kebenaran–kebenaran hakiki yang saya percaya bahwa apa yang telah menjadi pilihan itu tidak pernah salah selama kita mampu menjalani dan menghadapi setiap konsekuensi yang ada.

Kata mundur, kata menyerahpun akhirnya perlahan menghilang dalam benak. Yang bertahta dalam hati dan pikiran hanyalah sebuah dorongan untuk melangkah dan terus melangkah ke depan seakan memberi pesan bahwasanya jalan untuk pulang hanya ada di depan dan tak ada alasan untuk memutar arah meski itu hanya selangkah.

“Di mana ada kemauan disitu ada jalan”. Simple kan! Namun itu bukan hanya sekadar kata kawan! Meski itu hanya sebuah susunan kata-kata yang biasa, tapi jika kau meyakininya itu adalah sebuah kalimat yang luar biasa yang bisa menjadi embun penyejuk bagi mereka yang haus akan sebuah jawaban.

Percaya tidak percaya SM-3T telah menjadi tongkat bagiku yang buta akan masa depan dan menjadi jawaban atas pertanyaan tentang diriku dan keberadaanku. Polemik dalam diri yang sempat menimbulkan kegelisahan itu perlahan mencair laksana bongkahan es yang mendapat pancaran sinar matahari. Seraya dengan itu, seiring berjalannya waktu beban dan tanggung jawab kini telah berada di pundak sebagai pejuang pendidikan. Sebuah tugas dan amanah dibawah naungan bendera SM-3T kini menjadi totalitas utama.

Senin, 5 September 2016, bersama dengan deru mesin pesawat dan detak jarum jam yang tidak kenal lelah berputar menjadi saksi 53 pejuang pendidikan bertolak menuju lokasi pengabdian. Meninggalkan glamournya kehidupan kota dengan kenyamanan yang ditawarkan. Tidak ada yang bisa saya bayangkan dalam perjalanan selain kata “Merauke”.

Sebuah daerah di ujung timur Indonesia yang biasa hanya saya dengar dan nyanyikan di waktu sekolah dulu. Kini, kata itu tidak hanya akan menjadi sebuah kata biasa. SM-3T telah mengubahnya menjadi tempat yang akan kutuju. Tempat yang akan kujejaki selama mengemban sebuah tugas suci yang mulia dari KEMENDIKBUD. 5 jam perjalanan menembus malam menjemput pagi mengantarkan kami di tempat tujuan. Kami menerima sambutan khusus dari pemerintah Kabupaten Merauke dan selanjutnya di tempatkan di sebuah asrama untuk mendapat pembekalan ringan seputar kehidupan masyarakat sekitar sebelum bertolak ke lokasi pengabdian yang sesungguhnya.

Senin, 18 September 2016 pukul 05.00 WIT petualangan yang sesungguhnya pun dimulai. Bersama 4 orang rekan seperjuangan meninggalkan kota menuju pedalaman Merauke yang menjadi tempat penugasan. Mengendarai kendaraan roda dua ditemani 2 orang dari dinas Pendidikan Merauke dan beberapa guru di lokasi tempat tujuan. Menyusuri jalan beraspal yang cukup panjang sampai ke sebuah sungai yang hanya bisa diseberangi dengan perahu yang oleh masyarakat sekitar disebut belang.

Kemudian melanjutkan perjalanan menembus hutan menyusuri pesisir pantai yang sukses membuat kami terbang tanpa sayap dan mencicipi rasa pasir pantai Papua. Medan yang sangat berat bagi kami yang baru merasakan berkendara di sepanjang garis pantai menuju dermaga tempat penyeberangan yang kedua. “Semakin dalam semakin menantang.”

Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjalanan kami ke salah satu pedalaman Papua. Benar saja, lepas dari pesisir pantai kami disambut jalanan dengan kubangan-kubangan lumpur dan nyamuk yang tak kenal malu menyergap kala kami berhenti. Untuk kedua kalinya, kami kembali sukses dipaksa mencicipi aroma dan rasa lumpur di pedalaman Papua ini.

Siang hari pukul 14.00, kami tiba di salah satu distrik (kecamatan tetangga). Beristirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan dengan mobil. Sebuah mobil truk salah satu perusahaan yang kebetulan melintas. Membelah hutan belantara melewati kubangan-kubangan yang sesekali menahan laju roda ban. Pukul 17.30 WIT kami tiba di sebuah persimpangan jalan.

Sebuah persimpangan yang memisahkan aku dan ketiga rekan seperjuanganku. Sejauh mata memandang tak ada rumah yang mampu tertangkap oleh Tak semua yang indah harus berangkat dari sesuatu yang istimewa. Sebuah pilihan menjadi kata kunci dari setiap perjalanan hidup yang akan menjadi sebuah cerita dan perjuangan menuju sebuah impian. SM-3T mungkin hanya menjadi sebuah kata yang sangat sederhana untuk disebutkan dan didengarkan.


Truk yang kami tumpangi mengalami kerusakan

Perlahan sang mentari setapak demi setapak beranjak ke peristirahatan di ujung barat. Kami tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju tempat tugas di ujung hutan sana. Mereka yang mendampingi kami pun melanjutkan perjalanan mengantarkan ketiga teman dan meninggalkan kami dengan seorang masyarakat yang pastinya belum pernah kami kenal sebelumnya.

Jujur, kehadiran kami pada hari itu yang mana kami harus menginap di sebuah gubuk beralaskan tanah beratapkan kulit kayu yang lebih akrab disebut befak oleh masyarakat sekitar membuat saya sedikit tertekan. Pertanyaan–pertanyaan dalam hatipun kini menyerang secara bergerilya. Tapi, aku menolak untuk menerka–nerka. Yang hadir hanyalah rasa untuk segera menghabiskan malam ini dengan singkat. Beruntung, berbekal rasa lelah dalam perjalanan membuat saya mampu mengabaikan sekitar dan mengindahkan panggilan malam.

Keesokan harinya sebuah perahu bermotor datang menjemput kami. Bersama 3 orang warga dan seorang rekan seperjuangan, kami menyusuri rawa diantara pepohonan dan belukar. Pemandangan yang tidak asing lagi bagiku yang telah menyaksikan ketiga seri film “Anaconda”. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam menggunakan perahu bermotor kami tiba di sebuah pinggir hutan. Berjalan sekitar 100 meter menuju perkampungan.

Di sinilah kutemukan kembali semangat dan tekad untuk mengabdi. Potret kehidupan masyarakat terkhusus dunia pendidikan yang begitu miris untuk disaksikan ini seolah memberikan gambaran-gambaran dari jawaban–jawaban yang telah lama diidam-idamkan. Betapa tidak, tatapan beberapa pasang mata yang telah lama rindu akan tokoh pendidik (Guru), rona wajah yang perlahan berseri laksana bunga yang baru mekar seraya mendapat angin segar mendengar kehadiran kami yang akan menghabiskan waktu mengabdi di tempat mereka. Beberapa kalimat sederhana yang keluar dari mulut mereka meski masih agak sulit untuk dipahami namun bisa dimengerti makna dari kata–kata tersebut.
(to be continued)

Penulis : Ali Akbar

No comments:

Post a Comment