Friday, March 23, 2018

Tallasa' Kamase-mase, Filosofi Hidup Suku Kajang di tengah Dunia yang semakin Materialis

Pasang ri Kajang: 

Source: Google


Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, addakkako nu kamase-mase.
Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-mase, angnganre na rie, care-care na rie, pammali juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju.
Jagai lino lollong bonena, kammaya tompa langika, rupa tauwa siagang boronga.



(Berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicaralah engkau sederhana.)
(Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli lauk secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.)
(Peliharalah dunia beserta isinya demikian pula langit, manusia dan hutan.)

Kalian mungkin sepakat ketika saya mengatakan bahwa dunia yang kita diami sekarang semakin materialis. Semuanya diukur dengan besarnya materi yang kita punya. Tidak ada yang salah dengan harta, properti, kekayaan atau apapun itu namanya. Yang kurang tepat mungkin ketika hidup yang kita jalani semuanya sudah berorientasi materi. Penghormatan yang kita dapatkan, penghargaan yang kita berikan, bahkan semua tetek-bengek kehidupan terkecil pun sudah diukur dengan kacamata materi.

Bisa kita bayangkan, betapa beratnya hidup yang dijalani oleh kita yang bisa disebut sebagai manusia moderen ini, semuanya berpacu dalam waktu yang bahkan dirasa tidak cukup untuk mengakomodir semua hal yang ingin kita selesaikan dalam satu waktu.

Namun, hal ini tidak akan kita temui jika kita berada di sebuah daerah bernama  desa Tana Toa di Kajang. Daerah ini berada sekitar 200 km dari kota Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan.

Tana Toa adalah sebuah cerminan kehidupan manusia yang masih seimbang dan selaras. Ia punya caranya sendiri. Dipimpin oleh seorang tetua adat yang disebut ‘Ammatoa’ yang konon dipercaya sebagai titisan to manurung (orang pertama di bumi), to Kajang ( orang-orang Kajang) hidup dalam sebuah keteraturan yang telah mengikat mereka selama peradaban mereka tercipta.

Beberapa hal unik yang akan kita temui ketika berada di tengah-tengah mereka, salah satunya yaitu warna pakaian yang mereka kenakan, khususnya di pusat kawasan adat Tana Toa.

Hitam dipilih sebagai identitas karena memiliki filosofis bahwa kita berasal dari rahim ibu yang gelap dan ketika mati jasad kita akan hancur dan kembali bersatu dengan tanah yang gelap. 

Hitam juga menggambarkan kesamaan status, tidak ada perbedaan yang bisa menjadi sekat di antara mereka. Maka tidak heran di desa ini, tua dan muda akan berseliweran dalam warna yang sama, begitupun dengan para pendatang yang harus menghormati aturan adat untuk mengenakan pakaian dengan warna yang sama.
Souce: Google

Hal lain adalah filosofi hidup yang mereka miliki yaitu tallasa’ kamase-mase atau hidup sederhana. Suku Kajang hidup jauh dari perkembangan zaman, mereka tidak mengikuti hal-hal lazim yang dilakukan orang-orang sezamannya. 

Source: Google
Di sini, semua rumah panggung yang terbuat dari kayu, memiliki bentuk yang sama dan tidak akan ditemukan adanya perabotan dan alat-alat listrik di kawasan ini. Karena mereka menganggap bahwa keberadaan berbagai macam teknologi itu akan mengganggu keteraturan hidup yang telah mereka jaga selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Hidup sederhana menjadi sendi bagi kehidupan masyarakat yang digunakan sebagai rujukan nilai dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Prinsip tallassa’ kamase-mase berarti kita tidak memiliki keinginan yang berlebihan terhadap kehidupan, tidak berlebihan dalam makanan, pakaian, dan kebutuhan hidup yang lain. Semuanya ditakar secara seimbang dan selaras dengan alam.

Menekan keinginan yang belebihan juga menyelematkan alam karena segala aktivitas penjamahan alam bisa ditekan seminimal mungkin.

Sehingga tak heran jika mereka memiliki aturan yang sangat ketat terkait dengan hutan. Hutan dan Suku Kajang adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Suku Kajang memiliki penghargaan yang tinggi terhadap hutan, karena mereka percaya bahwa segala aktivitas berbeda dimensi terjadi di dalam hutan.

Jangan coba-coba untuk menebang pohon sembarangan di sini, hukuman adat akan dijatuhkan yaitu denda jutaan rupiah, bahkan pengucilan yang akan diterima oleh pelaku dan keluarganya selama tujuh turunan. Bisa dibayangkan betapa beratnya hukuman-hukuman itu.

Jika seseorang ingin menebang hutan, harus ada alasan yang jelas, serta ada izin dari Ammatoa selaku pimpinan tertinggi. Dan uniknya, sebelum menebang, si penebang harus menanam pohon pengganti terlebih dahulu. Dan dia akan diperkenankan menebang pohon kembali, ketika pohon yang ia tanam sebelumnya telah bertumbuh dengan baik.

Keberadaan suku Kajang dengan segala nilai kehidupan yang mereka anut menjadi salah satu bukti bahwa di tengah kehidupan manusia yang semakin money oriented masih ada orang-orang yang berani melawan arus dan menjadi berbeda dalam menjalani kehidupannya.

Dari mereka kita belajar bahwa nilai hidup yang sesunguhnya bisa didapatkan dalam sebuah kehidupan yang sederhana, di mana kita menyadari keberadaan kita, menghargai sesama dan mencintai alam di mana kita telah lahir dan bertumbuh.
















Sebuah tulisan yang tercipta dari sebuah kerinduan terhadap kampung halaman, di mana saya bertumbuh dan mengenal kehidupan pertama kalinya. 
(Indra)


No comments:

Post a Comment