Thursday, June 21, 2018

LAYANG-LAYANG SI SULANG



"Bertelanjang kaki Sulang berlari hilir mudik menantang arah angin, menarik kuat-kuat benang layangannya. Angin lembah siang itu semilir saja, tapi semakin kencang pula Sulang berlari di halaman sekolah. Senang hatinya kala potongan kresek itu membumbung naik dan menimbulkan resonansi benang berbaur dengan tabur-tabur angin menepak layangan itu. Semakin tinggi melewati lembah, semakin kuat angin bertiup, semakin puas pula hati Sulang. Ingin dia menerbangkan layang-layang kreseknya itu tinggi mengangkasa seperti impiannya.

Sekulum senyum bahagia dan butir air mata sedih Ibu guru Fitri yang sedang duduk mengamati tingkah Sulang. Bahagia melihat riang semangat, beradu sedih atas surammnya masa depan pendidikan anak-anak lembah pedalaman seperti si Sulang yang punya mimpi menjadi seorang pilot. Ingin dia sisipkan pesan pada layang-layang lusuh itu dan membiarkannya jatuh kemana saja ia ingin terjatuh untuk mengabarkan selarik berita tentang anak-anak rimba kepada siapa saja yang berkenan mendengarkan dan membuka mata.

Bahwa di pelosok hutan ini ada Sulang dan puluhan anak-anak seumurannya yang bermimpi untuk mengangkasa, walau dengan penuh kesadaran akan lemahnya pendidikan di pelosok terpencil, dan terkepung oleh deras arus kemajuan dunia luar. Mereka menggantungkan impian itu pada seorang wanita, wanita perkasa, cukup gila untuk menggadai megah kehidupan di kota asal menjadi pendidik di daerah tertinggal nan terpencil. Meneguhkan niat menantang deru-deru angin bersama anak-anak rimba."

Sepucuk surat itu kulipat, kuselipkan kembali ke dalam saku. Telah aku baca seluruh isinya, terkutip gubahan ceritera Ibu guru Fitri Rahmadani dari kampung Long Pakaq, lembah Bukit Milih, di tengah hutan Kalimantan, tentang kebanggaan dan kesedihan mendapati ketragisan politik pendidikan. Menggapai juluran tangan anak-anak yang sedikit terekspos oleh pendidikan dan media. Kartini Lintas Masa

No comments:

Post a Comment