Thursday, March 15, 2018

KARENAMU KUTEMUKAN JALANKU (Part 2)

Kata-kata yang disampaikan dengan segala kerendahannya, memancarkan sebuah pengharapan yang amat teramat dalam telah menyuntikkan spirit kedalam diri kami. Sontak, hal itu membuatku ingin segera mengabulkan keinginan mereka. Namun, di sini saya bukanlah penyihir apalagi Tuhan yang dengan seketika mampu membalikkan keadaan. Aku tak lain hanyalah sosok sederhana yang dengan keterbatasan dan mimpi-mimpi besar. Namun, kepercayaan yang mereka berikan dan amanah (tugas) tak memberiku banyak pilihan.

Di sini saya berada dan di sini saya berbuat. Ku coba meyakinkan diri dan menghamba pada sebuah kalimat yang pernah terlintas dalam ingatanku. Tak ada yang tak mungkin kecuali kau mau jadi Tuhan. Kalimat itulah yang menjadi penopang di saat harapan–harapan perlahan memudar oleh keterbatasan. Aku hanya bisa berharap akan kemudahan–kemudahan dalam setiap langkah. Meski bayangan akan kejutan–kejutan atau hal–hal yang belum pernah kudapatkan atau kutemui dalam kehidupan sebelumnya akan segera menghampiri. Entah dari mana asalnya, rasa itu tumbuh berkembang dalam pikiranku bersama dengan pijakan pertamaku. 

Berita tentang kehadiran kami bagaikan virus yang menyebar cepat ke seluruh warga. Hanya beberapa menit warga berbondong-bondong mendatangi rumah yang menjadi tempat kami beristirahat. Bercerita tentang keadaan kampung dan permasalahan pendidikan yang menimbulkan rasa iba dan penasaran akan kondisi sekolah.

Hari itu juga ditemani 2 orang warga kami berjalan melihat keadaan sekolah. Dan benar saja, apa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya kini terpampang di depan mata. Rasa percaya dan tidak percaya tatkala kulangkahkan kakiku menuju sekolah yang nantinya akan menjadi tempat keseharianku menjalani tugas dan tanggung jawab. Menyusuri ilalang yang menenggelamkanku, menjejaki jejak jalan setapak yang menjadi saksi bisu akan kaki-kaki kecil tak beralas para generasi pelanjut, pemilik masa depan. Melihat bekas jalan setapak yang telah tertutup rumput–rumput liar itu, gambaran akan kondisi sekolah mulai terlukis dibenakku.


Dan benar saja, ku dapati sebuah papan putih bertuliskan nama sekolah berdiri tegak diantara rumput liar yang hampir menutup seluruh tubuhnya. Berjarak 1 meter berdiri sebuah bangunan tua yang terbengkalai dan tidak terurus. Aku mulai bertanya, “Apakah benar ini tempat generasi pemilik masa depan itu ditempa?”. Kebingungan akan kenyataan yang jauh dari bayangan–bayangan miris yang telah aku gambarkan sebelumnya kini mendera.

Aku terduduk di salah satu kursi yang berdebu. Mengamati coretan–coretan dari kapur tulis yang menjadi hiasan di ruangan itu. Sejenak aku menghilang terhanyut dalam lamunan. Namun itu tidak lama, aku terbangun saat melihat sebuah coretan kecil di bawah sebuah jendela tak berkaca. Sebuah abjad yang kehilangan beberapa hurufnya. Senyum ringan kemudian mekar merona. Rencana-Nya memang indah.

Kuartikan keberadaanku di sini untuk menyelesaikan apa yang belum sempat diselesaikan. Mulai kudapati kembali tekadku yang sempat memudar. Kubangun kembali tembok–tembok semangatku yang sempat goyah. Kuartikan keberadaanku di sini untuk berjuang di bawah bendera SM-3T dan bukan untuk bersenang–senang. Kuyakini perjuangan itu tak serta-merta menawarkan sebuah kemudahan. 

************
Satu bulan di penempatan bukanlah sesuatu yang mudah tentunya bagi kami. Di samping membersihkan dan menghidupkan kembali sekolah yang telah lama mati, kondisi sekolah yang tidak terurus serta belukar yang hamper menutupi badan sekolah sudah cukup memberi penjelasan tidak adanya proses pembelajaran dalam waktu yang cukup lama.

Sebuah kejadian yang tidak seharusnya terjadi dibiarkan mengalir. Permasalahan yang telah mengakar dan membudaya bebas menari–nari membungkam mimpi anak–anak negeri. Guru yang sejatinya menjadi penerang bagi mereka, menebarkan benih–benih harapan, serta mengayomi mereka seolah enggan untuk melihat dan malu untuk mendengar. Namun, hal itupun tidak terjadi dengan sendirinya tanpa suatu sebab.

Keamanan dan kenyamanan menjadi alasan lahirnya permasalahan tersebut. Tidak adanya tempat berlindung (rumah) yang memaksa mereka lari dari tanggung jawab. Hidup dalam bayang–bayang kesalahan yang disadari tetapi memaksa untuk berdiam diri. Hal yang sama jadi penyedap rasa selama penugasan. Hidup menumpang dari rumah warga kemudian hijrah ke PUSTU (puskesmas pembantu) untuk sekedar mendapat tempat berteduh dan bertahan hidup. Hal yang pastinya mengurangi kenyamanan, mengusik kebebasan, dan membatasi ruang gerak seakan merakit bom yang sewaktu–waktu dapat meledak dalam bentuk stress.

Suatu hal yang diharamkan terjadi pada tenaga pendidik. Namun, itulah pedalaman yang tidak memberikan banyak pilihan dengan segala kekurangan dan kesederhanaan yang ditawarkannya. Akan tetapi, seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya, itu bukanlah alasan yang bisa dengan mudahnya mengangkat tanganku seraya mengibarkan bendera putih. Kebulatan tekad berjuang di bawah bendera SM-3T membuatku tetap bertahan demi sebuah amanah untuk mewujudkan cita–cita luhur menjangkau mimpi yang tertinggal. Berusaha membuktikan bahwa apa yang kita yakini mampu kita miliki. Meski situasi dan kondisi kadang menghimpit dan cenderung menghambat. Dan berharap kiranya bisa menjadi pemicu kembalinya semangat dan jiwa muri para patriot yang tertidur untuk mengemban tugas suci yang mulia yang diamanahkan kepadanya.

to be continued......... 

Penulis : Muhamad Ali Akbar
Prodi Penjaskesrek
 

No comments:

Post a Comment