Thursday, March 15, 2018

KARENAMU KUTEMUKAN JALANKU (Part 3 Final)



Suatu hal yang diharamkan terjadi pada tenaga pendidik. Namun, itulah pedalaman yang tidak memberikan banyak pilihan dengan segala kekurangan dan kesederhanaan yang ditawarkannya. Akan tetapi, seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya, itu bukanlah alasan yang bisa dengan mudahnya mengangkat tanganku seraya mengibarkan bendera putih.

Kebulatan tekad berjuang di bawah bendera SM-3T membuatku tetap bertahan demi sebuah amanah untuk mewujudkan cita–cita luhur menjangkau mimpi yang tertinggal. Berusaha membuktikan bahwa apa yang kita yakini mampu kita miliki. Meski situasi dan kondisi kadang menghimpit dan cenderung menghambat. Dan berharap kiranya bisa menjadi pemicu kembalinya semangat dan jiwa muri para patriot yang tertidur untuk mengemban tugas suci yang mulia yang diamanahkan kepadanya. 

Selain permasalahan pendidikan, kami pun harus beradaptasi dengan lingkungan yang jauh bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya. Malam hari dengan kerlap–kerlip lampu dan hingar bingar kendaraan yang lalu lalang, serta hiburan–hiburan yang memanjakan, kini berganti dengan sunyi senyap, gelap gulita tanpa adanya penerangan. Tangan yang setiap harinya menghabiskan waktu dengan gadget kini tak hentinya menari dengan gemulai mengusir nyamuk yang menyerang secara bergerilya. 

Belum cukup sampai disitu, tugas di daerah pedalaman identik dengan akses atau lokasi yang sulit dijangkau. Benar saja, untuk memenuhi kebutuhan kami harus berjalan kaki sekitar 3 jam menyusuri hutan belantara untuk sampai di jalan yang biasa dilalui kendaraan karena perahu tidak selamanya ada. Namun jangan salah, sampai di jalan besar belum berarti perjuangan selesai. Kami masih harus berjudi dengan nasib karena jalan tak seramai jalan–jalan ibukota (maklum pedalaman). Jadi, kami hanya bisa berharap pada mobil–mobil truk yang melintas. Meski terkadang truk tersebut dengan muatan pasir, bambu, dan kayu. Menumpang mobil truk dengan muatan melewati jalanan berlubang jelas memacu adrenalin.

Apalagi mengingat cerita masyarakat sekitar bahwasanya sering terjadi kecelakaan dikarenakan muatan berlebih dengan kondisi jalan yang demikian. Bahkan seringkali saya harus menahan nafas tatkala mobil melintasi jalan dengan lubang yang cukup dalam. Mencengkram dan memasang kuda kuda bilamana terjadi hal–hal yang tidak diinginkan. Bahkan sempat menjadi bahan tertawaan warga tatkala menyaksikan raut wajahku yang tak bisa menyembunyikan ketegangan yang berlebih. Kami sadar apa yang kami lakukan tak ayal adalah tindakan yang membahayakan. Namun, itulah pedalaman dengan segala rasa yang ditawarkan.

Naluri seorang pejuang rasanya telah mengambil alih peranannya. Sesaat aku mampu mencerna setiap makna dari masalah yang kami hadapi. Keluhan–keluhan yang sering hadir diawal keberadaan kami perlahan berkurang seraya bertambahnya usia kami di tempat tugas. Malam yang sunyi coba kami redam. Menghadirkan anak–anak untuk mendapat pelajaran tambahan meski hanya berteman lilin dan pelita, serta head lamp

Mengubur sunyi hadirkan senyum kala mendengar mereka mengeja huruf–huruf meski terbata–bata. Mencoba membangun relasi dengan masyarakat sekitar, bercengkrama, dan membuka diri selebar–lebarnya terhadap mereka tanpa pedulikan perbedaan–perbedaan. Mencoba memahami lebih dalam tentang mereka dan kehidupan mereka.

Mencari akar kehidupan yang selama ini belum mampu kupahami secara utuh karena di lokasi pengabdian semua tersaji dalam bentuk yang sederhana. Meminta otak untuk bekerja lebih keras daripada biasanya. Mengubah segala yang layu menjadi mekar berseri menebar aroma kehidupan untuk tempat yang nyaris tak menggambarkan sebuah masa depan. Kematian yang menjelma dalam bentuk jenuh dan bosan. 

Hutan dan belukar serta hembusan angin yang sesekali berhembus dengan aroma rimba yang ditawarkan menjadi bingkai dalam keseharian di penempatan. Namun, kehidupan yang miris yang cukup riskan untuk dijabarkan tidak serta merta hanya menyisakan senandung lara yang mengisi detik demi detik dalam perjalanan menggulung cerita. Mencipta indah, menghadirkan tawa meski dengan keterbatasan merupakan tuntutan wajib jika tidak ingin berakhir tragis.

Terkurung, terbelenggu dalam kehampaan yang mencercah diri sedikit demi sedikit sampai pada saat kita dipaksa mengikuti alur waktu dengan tertatih. Menolak menyerah pada keadaan menjadi pemicu untuk lebih mengasah kreativitas dan mempertajam naluri. Menghakimi kesunyian dengan menghadirkan anak–anak, mengubur kejenuhan dengan hamparan hutan belukar yang meminta untuk dijejaki, serta menghapus rasa bosan dengan keberadaan rawa yang cukup luas yang siap untuk disetubuhi. Dan semua itulah yang menjelma menjadi bagian dari cerita indah yang bisa kuukir dalam keseharian. Melepaskanku dari kesunyian yang kadang menyeret pada perasaan yang semakin menekan. Bahkan membuatku kadang lupa akan keberadaanku.

Sungai yang ganas, semak belukar menjulang, hutan belantara, hewan buas, siang yang terik namun lembab, dan malam yang dingin menggigit pun tidak terasa asing lagi bagiku. Kususuri belantara bersama anak–anak, bergelantungan di atas pohon dan tidur di bawah pohon sampai senja menjemput. Bercanda dan tertawa lepas di tepi rawa dan sesekali bermain perahu, belajar mendayung menghabiskan sore. Dan satu hal lagi yang sangat menggembirakan dan sangat kunantikan yaitu hari minggu. Bukan karena libur (bebas tugas).

Tapi, lebih dari itu, kebiasaan warga setiap minggu yang selalu menyempatkan diri untuk piknik meninggalkan rutinitas harian beramai–ramai menuju tepi rawa di pinggir hutan dengan perahu atau pun berjalan kaki untuk memancing. Sebuah pemandangan yang sangat jarang bahkan hampir tidak pernah saya temukan sebelumnya ditempat lain. Dan mungkin kebersamaan inilah yang kemudian mempererat simpul–simpul kekeluargaan sehingga tetap mampu bertahan diantara himpitan kehidupan yang belum mampu untuk mereka kejar.

Aku tak mengada–ada karena aku memang pernah ada. Di sini aku berada dan di sini pulalah aku berani bercerita. Berkaca pada kehidupan masyarakat yang entah dimulai sejak kapan mengarungi samudera hidup yang menurutku teramat berat. Rasa kagum akan kehidupan mereka yang tinggal di pedalaman, terpisah dari dunia luar, dan sama sekali tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada.

Problema atau masalah–masalah yang terjadi dalam negeri tidak pernah terdengar di telinga mereka. Baik itu kasus korupsi, bencana alam, pilkada, perceraian para artis, sampai mungkin dengan bergabungnya Wiro Sableng dengan Avengers serta perang dunia ketiga takkan mungkin kita ketahui. Jangankan informasi dari luar daerah, informasi seputar Merauke bahkan di tetangga kampungpun tidak akan sampai ke telinga mereka dengan cepat. Fasilitas yang sama sekali tidak memadai. Bahkan uang sebagai alat tukar pun belum begitu berperan. Barter masih menjadi cara bertransaksi yang popular di desa ini. Tapi, itu sama sekali tidak menjadi alasan yang dipandang bisa menahan mereka untuk bisa tertawa lepas.

Keyakinan akan hari esok yang lebih baik tetap tertanam di benak mereka. Keberadaan mereka yang jauh dari dunia luar yang lebih maju justru lebih mempererat simpul kekeluargaan mereka. Terbukti, tanah Papua menurut kabar yang berkembang di kalangan masyarakat luar itu rawan konflik terbantahkan. Yawimu, Distrik Ngguti Kab. Merauke, saya tidak menemukan itu. Bukan berarti tidak pernah ada masalah. Tapi, tidak pernah sampai pada saat parang dan panah yang memberi penjelasan. 

Kemampuan mereka menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah terbilang efektif. Bukan hanya itu, minuman keras yang biasanya menjadi momok menakutkan bagi generasi muda mampu mereka tekan. Aturan yang mereka buat dan mereka patuhi saya akui mampu memberantas minuman keras di daerah ini. Tidak tanggung–tanggung, sanksi yang mereka berikan untuk menekan miras bervariasi dan yang terberat adalah hukuman mati. Di sini saya cenderung berpikir sekiranya hal itu bisa diterapkan di Indonesia pasti angka kriminalyang dominan disebabkan oleh pengaruh alkohol mampu ditekan. Jika mereka yang di pedalaman di daerah tertinggal mampu membuktikan, kenapa kita di daerah yang lebih maju tidak bisa?

Selain itu, semangat gotong royong masih sangat kental di sini. Mereka dengan sendirinya akan bergerak dan membantu warga bilamana ada yang berduka (kematian). Bukan Cuma 1-7 hari, tapi sampai 40 hari kedepan mereka akan dengan setia menyambangi rumah duka dan membantu memenuhi kebutuhan mereka. Berburu bersama untuk mendapatkan daging serta pangkur sagu bersama tanpa imbalan apapun. Sebuah potret persaudaraan yang tak ayal membuat iri dan kadang membuatku tertunduk malu. Dan masih banyak lagi yang tak bisa kuceritakan. 

Mengenang keberadaanku dengan keterbukaan dan sambutan hangat dari masyarakat. Sampai pada saat ini, kami mampu menempatkan diri di tengah–tengah mereka. Bercerita, tertawa, bahkan hampir tidak ada jarak antara kami, mereka itu menjadi kesan tersendiri bagiku. Diperlakukan bak seorang tamu terhormat diawal kedatangan kami sampai pada saat sekarang perlakuan itu tak pernah surut adalah hal yang susah untuk dilupakan. Toh, ini kali pertama saya merasa menjadi orang yang berarti.
Entah apa kata yang pantas kami tuturkan ketika ucapan terima kasih tak cukup lagi mewakili rasa syukur kepada Tuhan melalui KEMENDIKBUD dengan program SM-3T yang jelas telah menuntunku mencari jalan hidup. Sungguh menjadi guru SM-3T di daerah 3T bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, akan tetap bisa menciptakan indah. “Mengajar dan belajar”. Belajar memaknai hidup, belajar menghargai kertas yang lusuh, dan belajar menghargai setiap detik yang dianugerahkan, serta mensyukuri keadaan. “Menempa dan ditempa.”

Ditempa menjadi sosok yang lebih tangguh, tidak mudah menyerah terhadap keadaan dan menjadi lebih hidup, bertekad batu karang namun tetap fleksibel dalam bertindak. “Membangun dan dibangun”. Membangunkan jiwa yang telah lama mati. Rasa empati dan kepedulian terhadap keaadaan sekitar yang dulu telah tertidur dalam diri. Berada di lokasi 3T mungkin tak jauh beda dengan kisah para tokoh-tokoh besar bangsa ini yang pada masa itu diasingkan atau dibuang ke pedalaman.

Terlempar dari zona nyaman yang seketika berubah menjadi daerah yang nyaris tidak menggambarkan sebuah masa depan. Berjuang untuk bertahan hidup. Berjuang menghadapi kematian yang menjelma atas nama jenuh dan bosan. Namun, justru dengan semua itu sisi kemanusiaan yang selama ini terdegradasi dalam diri bisa kembali didapatkan. Penderitaan membuka makna pada kemanusiaan. Menyuburkan sebuah ruang tempat segala inspirasi beranak pinak. 

Sepintas SM-3T memang terlihat sebagai sebuah hukuman. Memutar alur kehidupan dan membalikkan keadaan. Menonjolkan keterbatasan–keterbatasan yang kemudian melahirkan keluhan–keluhan. Namun, perlahan tapi pasti keluhan–keluhan akan keterbatasan–keterbatasan itulah yang nantinya akan menjelma menjadi perisai di tengah kerasnya hidup di dalam perjalanan menggulung cerita. Aku yakin hasil tidak akan pernah mengkhianati proses.

Dan aku yakin apa yang telah kujalani selama di lokasi, bersenandung di bawah bendera SM-3T suatu saat nanti akan menjadi rumus–rumus untuk menyingkap misteri di kehidupan yang akan datang sebagaimana yakinku akan pelangi setelah badai. Hal itulah yang menjadi bagian bagian dari pengabdian di daerah 3T yang telah dengan sendirinya mengukir kisah di relung hati pejuang pendidikan yang dengan setia mengibarkan bendera SM-3T di pelosok Negeri. Semoga akan senantiasa menjadi titik awal eskistensi kami di dunia pendidikan. 


SALAM SM-3T,
SALAM MBMI,
SM-3T ANGK. VI KAB. MERAUKE

No comments:

Post a Comment