Perahu Longboat bermesin 80pk
yang aku tumpangi menepi. Motoris Pak Awang memilih tempat yang bisa dijadikan
lokasi untuk kami singgahi menurunkan sebagian barang-barang sembako yang akan
dijual ke kampung perbatasan RI-Malaysia. Nantinya barang-barang tersebut akan
di jemput kembali oleh longboat setelah setengah muatan lainnya diturunkan di
hulu riam besar di depan sana. Jika muatan terlalu berat, maka perahu longboat
tidak akan mampu melewati tanjakan Riam Udang.
Tebing Sungai Mahakam |
Barang-barang jualan
Pak Awang mulai diturunkan ke tepian berpasir, pasir sungai hasil endapan tanah
dan kikisan batuan serpin yang tererosi oleh deras sungai. Beberapa pohon tua
yang bertahan dari ganasnya riam memiliki ranting-ranting besar yang menjorok
ke tengah sungai seperti tangan-tangan terjuntai berupaya menggapai tebing di
seberang aliran. Tali perahu kami tambatkan pada salah satu ranting. Tepat di
seberang ialah bentangan tebing berlumut kira-kira sepanjang 50 meter dari hilir ke
hulu dengan ketinggian 7 hingga 15 meter dari permukaan sungai Mahakam. Di
atasnya ialah pohon-pohon rindang Kalimantan.
Jeram Riam Udang |
Di bagian hulu tebing terdapat arus
sungai yang sangat deras, penduduk mengenalnya sebagai Riam Udang,
jeram sungai menanjak dan terbesar di Indonesia, berhiaskan bongkahan-bongkahan cadas
menjulang dari dalam sungai, aliran air yang berputar-putar kuat tak
tentu arah
telah menenggelamkan puluhan perahu dan manusianya, baik pendatang
ataupun
penduduk asli suku pedalaman Kalimantan yang terkenal sebagai perenang
handal di
sungai.
Aku memosisikan kamera yang
tergantung di leherku. Mengambil gambar sebuah air jatuh yang merembes dari
retakan tebing di depanku, pemandangan eksotik. Kamera kualihkan, lensa
terfokus pada sebuah kerangka papan lapuk yang berada pada sebuah kerokan
melintang di permukaan dinding tebing. Lebar kerokan itu kira-kira sebesar
perahu kecil, panjang melintang diatas ketinggian 5 meter dari permukaan
sungai. Awalnya kupikir itu hanyalah potongan-potongan kayu yang terbawa arus hulu
saat ketinggian air meluap dan kebetulan tersangkut pada tebing itu. Akan tetapi
bentuknya terlalu dekoratif untuk seonggok tumpukan kayu tersangkut, papan reyot
yang telah lapuk dan berlumut, sebagian kayunya patah, namun tetap tergambarkan
bentuk aslinya, sebuah miniatur rumah bale-bale. Aku mengambil beberapa gambar objek
aneh itu.
***
Sebuah langkah kaki mendekat, Pak
Awang duduk disampingku menatap rangka kayu di tebing sana. Aku juga turut
duduk jongkok untuk menghormatinya, istiadat suku pedalaman. Ketika dia memberitahuku
bahwa tumpukan kayu itu ialah rumah arwah (makam bagi orang-orang meninggal
dahulu) yang meninggal di riam (jeram) ini, aku terkaget, merasa seram sekaligus
penasaran.
Beliau mulai bertutur, lama
sebelum mesin perahu ditemukan, para warga menggunakan perahu kayu dan dayung
untuk menyebrangi riam. Begitu kuatnya orang dulu berdayung, namun tetap ada
juga yang tidak selamat melewati riam. Para korban itu kemudian sertamerta
dimakamkan di tebing riam itu, dengan kepercayaan akan menenangkan amukannya. Aku
berpikir ternyata adat pemakaman disini hampir sama seperti di Toraja,
menyimpan mayat di dalam goa, namun sedikit berbeda dimana Rumah Arwah cukup dilekatkan
pada kerukan tebing yang tak terlalu dalam.
Lanjutnya, dahulu ada banyak makam
kayu melekat pada dinding tebing, di dalamnya tengkorak dan rangka-rangka tubuh
manusia bisa ditemukan. Namun kini sebagian besarnya telah tersapu aliran
karena sudah terlalu tua, atau hilang dicuri penduduk yang ingin menuntut suatu
elmu tertentu.
Cerita Pak Awang masih berlanjut,
Sementara di atas tebing itu dulunya
ialah sebuah kampung, kemudian karena pamali adat yang dilanggar, seluruh warga
dan bangunannya dikutuk menjadi batu. Para leluhur mempercayai bahwa dengan
memakamkan arwah ke dinding batu, artinya mengembalikan hakikat arwah ke
kampung asalnya, karena tebing itu dulunya ialah sebuah kampung. Olehnya itu,
arwah (orang mati) akan bersatu kembali dengan leluhur-leluhurnya yang telah
tiada.
Semakin penasaran, aku ingin
bertanya lebih jauh tentang legenda kampung itu, tapi sayang, barang-barang
telah selesai diturunkan oleh anak buah Pak Awang, perahu mulai mengapung
ringan, dan kami harus melanjutkan perjalanan ke seberang riam untuk menunggu.
Selain itu, Pak Awang berkata bahwa dia juga tidak terlalu mengingat detail
cerita kampung dikutuk itu, lebih baik kalau aku bertanya lansung kepada nenek
nanti ketika tiba di kampung perbatasan, begitu katanya sambil menertawai aku
yang melongo. Kisah legenda dengan bumbu mistis, khas nusantara selalu menarik
perhatianku.
****
Berbagai kisah sejarah datang
dari penjuru nusantara, turut memperkaya kesusasteraan Indonesia. Kalaupun
kadang cerita itu cukup irasional untuk diterima logika berpikir, dalam artian
bersifat folklor, tetap saja banyak masyarakat lokal yang cenderung
menerima untuk mempercayainya. Banyak diantaranya terekam dalam dongeng lisan
yang dikisahkan turun temurun dari leluhur ke buyut, buyut ke teteh, teteh ke nenek,
nenek ke ibu, Ibu ke anak, anak ke cucu, cucu ke cicit, dan seterusnya. Yang lebih
luar biasa, banyak cerita-cerita rakyat itu kini telah terdigitalisasi dalam
internet hingga menggampangkan pembaca untuk mengaksesnya. Namun lazimnya,
tetap ada kisah-kisah yang tidak seberuntung itu, terlupakan begitu para tetua
penutur menghilang dilengser usia dan pergeseran preferensi generasi baru ke arah dunia teknologi berkiblatkan rasionalitas. Tanggung jawab kini ada di
tangan kita, memilih untuk melestarikan legenda itu, atau mengabaikannya.
****
Jangan kita lupakan bahwa alam
bekerja dengan caranya sendiri, banyak yang belum terkuak oleh kemajuan nalar
manusia.
Kutinggalkan jejak-jejak kaki di atas pasir Mahakam bersama kisah Kampung Arwah yang belum kudapati endingnya.....
Source: Kampung Arwah Tebing Mahakam
Penulis: AF
No comments:
Post a Comment